Tuesday, April 14, 2015

Gending Pembawa Kabar
Nurie Amaya

Desas-desus akan dihentikannya acara itu mulai santer terdengar. Pak lurah baru, seorang yang berpaham modern, tak menyetujui perayaan menyambut hari jadi desa.
Angin bulan Agustus terasa panas, pengap. Rumput-rumput di lapangan tengah desa mulai kering, menguning, menyimpan bijinya untuk tumbuh di musim lain. Beberapa batang pohon beringin masih tampak kukuh, tak terpengaruh musim. Daun kamboja berjatuhan memenuhi pelataran tempat paling bertuah di desa ini.

“Selama ratusan tahun, hanya dia yang berani menyalahi adat!”

“Iya, Budhe Tarni. Mentang-mentang dia lulusan sekolah tinggi di kota besar.”

“Duh … amit-amit! Jangan sampai kita kena kutukan dari Eyang Buyut.”

“Hiiiiii .…”

Satu dua percakapan itu saling menimpali diselingi bergidik dan wajah ngeri. Pemandangan ibu-ibu bergunjing itu kerap terlihat setiap pagi saat mengerumuni tukang sayur, sambil mengupas berita paling rahasia hingga berita terkini.

Benarlah memang, angin punya telinga, mata dan mulut. Berita itu cepat menyebar hingga pelosok desa. Perayaan yang biasanya jatuh pada hari Jumat Pahing hingga Sabtu Pon di bulan Agustus pun urung dilaksanakan. Para sesepuh desa mondar-mandir dengan wajah ditekuk menghadiri rapat tahunan.Kepala desa menganggap perayaan itu mengacu pada tindakan syirik, meminta bantuan pada makam/eyang buyut, sehingga harus ditiadakan.

Satu minggu menjelang hari sakral, tak juga dilakukan persiapan. Tenda-tenda yang biasanya mengelilingi makam tidak didirikan. Panggung tak dibuat. Gapura tidak dicat. Hanya sesekali terlihat beberapa orang masuk area pemakaman sambil membawa bungkusan kecil berisi bunga tabur untuk ziarah. Kemudian keluar dengan semringah menggenggam kain putih berisi tanah.


==>>Temukan kelanjutan kisahnya dalam buku kumcer budaya 'Gending Pembawa Kabar'

Tuesday, February 10, 2015

Resensi Novel Animus

Ketika manusia limbung ditikam kebencian, ke manakah mereka akan berlari? – a Tetralogy Novel_Animus

#Resensi_Novel_Animus

Novel bergenre trhiler ini terdiri dari empat bagian cerita utama yang saling berhubungan. Dimulai dengan prolog yang menegangkan, ditulis dengan sudut pandang berbeda. Novel ini sukses menarik ulur perasaan, membuatku penasaran, tegang, geram, menitikkan air mata dan juga romantis.

Dikemas dengan bahasa yang menarik, diksi-diksi yang cantik dan mudah dipahami.

Bercerita tentang penduduk sebuah pulau kecil bernama Maku-Maku yang dibagi menjadi beberapa bagian wilayah; Kota Mati, Desa Makui, Pusat kota, Taman Soka, Kampung Badah, hutan dan perkebunan karet.

Seluruh penduduk Maku-Maku meyakini sebuah legenda Danau Sinabu, yang bisa mengabulkan segala macam keinginan  orang yang hatinya dipenuhi dendam dan kebencian.  Dari sanalah cerita ini dimulai.

SALSA –Seorang penyanyi dangdut dari Desa Makui yang cantik dan menawan. Dulunya ia sebatang kara yang kemudian dipungut Mamak. Disekolahkan dan diajari menyanyi. Salsa jatuh cinta kepada Darsono –seorang anggota dewan yang sudah beristri.

ARI – Seorang lelaki pincang yang bekerja sebagai petugas kebersihan. Ia sangat menyayangi Ibu Panti Asuhan tempat ia dibesarkan. Sayangnya, tragedy buruk merenggut kebahagiaannya berkali-kali.  Ari kagum dan jatuh cinta pada Salsa.

Pada bagian inilah, konflik yang benar-benar seru terjadi. Ketegangan, pelecehan, tangis, kebencian, darah, penghianatan, pembunuhan, diskriminasi dan penyelewengan kekuasaan. Kasus yang menimpa Salsa membuatnya berurusan dengan Sang Komandan kejam – Helmi juga Pak Hakim. Penulis benar-benar lihai menyembunyikan jati diri tokohnya. Clue yang diberikan membuat penasaran dan ketika sampai pada tahap eksekusi klimaks … Jleb! Cerita tidak bisa ditebak.

YANA – Seorang remaja anak dari Komandan arogan- Helmi.

NORA – Seorang anak petani desa yang sangat sederhana. Cantik, periang, lincah dan mendapat beasiswa sekolah di kota. Ia bertemu Yana dan menjalin kisah cinta yang ditentang oleh orang tua kekasihnya.

Pada bagian inilah aku menitikkan air mata. Saat tragedi mengerikan itu menimpa Nora. Penulis benar-benar menjebakku dengan ending yang mengejutkan. Eksekusi yang tidak masuk akal tapi keren. Penjabaran setting yang cukup berhasil membuat pembaca bisa masuk dalam cerita, serta membayangkan kejadian demi kejadiannya.

Keempat tokoh diatas berada dalam sebuah garis yang saling berpautan. Imajinasi yang rapi. Konflik dan klimaks yang mencengangkan.

GUNTUR – Seorang pemuda yang merantau menjadi penebang hutan.

BUNGA –Anak seorang kepala desa. Bunga adalah kekasih Guntur. Mereka telah merencanakan pernikahan.

CUWA – Gadis cantik nan lugu. Tinggal tak jauh dari barak tempat Guntur dan para pekerja penebang hutan. Guntur dan Cuwa saling jatuh cinta.

Ternyata pada bagian inilah pembaca baru bisa mengobati rasa keingintahuan tentang prolog novel  ini. Tersembunyi secara apik. Perseteruan cinta segitiga, cemburu, kesetiaan, kebencian, penghianatan dan juga darah. Pembaca akan dibuat terkejut dengan ending novel ini (ck …geregetan  pengin getok si penulis, hihihi)

Masih ada beberapa tokoh pendukung yang ditampilkan, Seperti; Mamak, Bang Hoti, Kakek Tua, Mak dan Bapak Cuwa Helmi, Selingkuhan Helmi, Pak Hakim dan beberapa tokoh pendukung lain. Penulis menciptakan karakter tokohnya juga bagus.

KELEMAHAN;
Novel ini tidak cocok dibaca oleh remaja labil, sebab jiwa yang belum bisa memilah mana pesan baik dan buruk cenderung akan mencampur adukkan nilai-nilai yang diselipkan dalam cerita. Seperti sebuah kalimat dalam novelyang kurang lebih  begini “Ia ibarat mata pisau, jika kau gunakan untuk membelah sayur dan buah, maka ia berguna untukmu. Tapi jika kau gunakan untuk melukai, maka darah dan keburukanlah yang didapati.”
Jadi novel ini direcomendasikan untuk 18+ dan bagi yang suka genre thriller atau horror.

KESIMPULAN;
Tak sepatutnya manusia itu memendam kebencian dan dendam yang mendalam.Hanya akan merusak hati, menggerogoti ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Ada harga yang harus dibayarkan dengan mahal jika kebencian itu dibiarkan bersarang, yaitu kehilangan sesuatu yang jelas-jelas sudah dimiliki, atau malah menghancurkan mimpi dan harapan lain yang sebenarnya bisa dipertahankan.
Danau sinabu atau danau kebencian atau danau berkah dalam cerita adalah perumpamaan yang pas untuk kebencian. Siapa yang memuja pasti tenggelam dikedalamannya.
Sebuah pelajaran berharga pula bisa ditemukan dalam cerita ini, bahwasanya janji itu adalah hutang yang harus dibayarkan. Jika tidak, maka hukuman/karma pasti menghampiri.


(Resensi_Animus_NurieAmaya_10_01_15)