Gending Pembawa Kabar
Nurie Amaya
Desas-desus akan dihentikannya acara itu mulai santer terdengar. Pak lurah baru, seorang yang berpaham modern, tak menyetujui perayaan menyambut hari jadi desa.
Angin bulan Agustus terasa panas, pengap. Rumput-rumput di lapangan tengah desa mulai kering, menguning, menyimpan bijinya untuk tumbuh di musim lain. Beberapa batang pohon beringin masih tampak kukuh, tak terpengaruh musim. Daun kamboja berjatuhan memenuhi pelataran tempat paling bertuah di desa ini.
“Selama ratusan tahun, hanya dia yang berani menyalahi adat!”
“Iya, Budhe Tarni. Mentang-mentang dia lulusan sekolah tinggi di kota besar.”
“Duh … amit-amit! Jangan sampai kita kena kutukan dari Eyang Buyut.”
“Hiiiiii .…”
Satu dua percakapan itu saling menimpali diselingi bergidik dan wajah ngeri. Pemandangan ibu-ibu bergunjing itu kerap terlihat setiap pagi saat mengerumuni tukang sayur, sambil mengupas berita paling rahasia hingga berita terkini.
Benarlah memang, angin punya telinga, mata dan mulut. Berita itu cepat menyebar hingga pelosok desa. Perayaan yang biasanya jatuh pada hari Jumat Pahing hingga Sabtu Pon di bulan Agustus pun urung dilaksanakan. Para sesepuh desa mondar-mandir dengan wajah ditekuk menghadiri rapat tahunan.Kepala desa menganggap perayaan itu mengacu pada tindakan syirik, meminta bantuan pada makam/eyang buyut, sehingga harus ditiadakan.
Satu minggu menjelang hari sakral, tak juga dilakukan persiapan. Tenda-tenda yang biasanya mengelilingi makam tidak didirikan. Panggung tak dibuat. Gapura tidak dicat. Hanya sesekali terlihat beberapa orang masuk area pemakaman sambil membawa bungkusan kecil berisi bunga tabur untuk ziarah. Kemudian keluar dengan semringah menggenggam kain putih berisi tanah.
==>>Temukan kelanjutan kisahnya dalam buku kumcer budaya 'Gending Pembawa Kabar'
Catatan Jingga
Tuesday, April 14, 2015
Tuesday, February 10, 2015
Resensi Novel Animus
Ketika manusia limbung ditikam kebencian, ke manakah mereka
akan berlari? – a Tetralogy Novel_Animus
#Resensi_Novel_Animus
Novel bergenre trhiler ini terdiri dari empat bagian cerita
utama yang saling berhubungan. Dimulai dengan prolog yang menegangkan, ditulis
dengan sudut pandang berbeda. Novel ini sukses menarik ulur perasaan, membuatku
penasaran, tegang, geram, menitikkan air mata dan juga romantis.
Dikemas dengan bahasa yang menarik, diksi-diksi yang cantik
dan mudah dipahami.
Bercerita tentang penduduk sebuah pulau kecil bernama
Maku-Maku yang dibagi menjadi beberapa bagian wilayah; Kota Mati, Desa Makui,
Pusat kota, Taman Soka, Kampung Badah, hutan dan perkebunan karet.
Seluruh penduduk Maku-Maku meyakini sebuah legenda Danau
Sinabu, yang bisa mengabulkan segala macam keinginan orang yang hatinya dipenuhi dendam dan
kebencian. Dari sanalah cerita ini
dimulai.
SALSA –Seorang penyanyi dangdut dari Desa Makui yang cantik
dan menawan. Dulunya ia sebatang kara yang kemudian dipungut Mamak.
Disekolahkan dan diajari menyanyi. Salsa jatuh cinta kepada Darsono –seorang
anggota dewan yang sudah beristri.
ARI – Seorang lelaki pincang yang bekerja sebagai petugas
kebersihan. Ia sangat menyayangi Ibu Panti Asuhan tempat ia dibesarkan.
Sayangnya, tragedy buruk merenggut kebahagiaannya berkali-kali. Ari kagum dan jatuh cinta pada Salsa.
Pada bagian inilah, konflik yang benar-benar seru terjadi.
Ketegangan, pelecehan, tangis, kebencian, darah, penghianatan, pembunuhan,
diskriminasi dan penyelewengan kekuasaan. Kasus yang menimpa Salsa membuatnya
berurusan dengan Sang Komandan kejam – Helmi juga Pak Hakim. Penulis
benar-benar lihai menyembunyikan jati diri tokohnya. Clue yang diberikan
membuat penasaran dan ketika sampai pada tahap eksekusi klimaks … Jleb! Cerita
tidak bisa ditebak.
YANA – Seorang remaja anak dari Komandan arogan- Helmi.
NORA – Seorang anak petani desa yang sangat sederhana.
Cantik, periang, lincah dan mendapat beasiswa sekolah di kota. Ia bertemu Yana
dan menjalin kisah cinta yang ditentang oleh orang tua kekasihnya.
Pada bagian inilah aku menitikkan air mata. Saat tragedi
mengerikan itu menimpa Nora. Penulis benar-benar menjebakku dengan ending yang
mengejutkan. Eksekusi yang tidak masuk akal tapi keren. Penjabaran setting yang
cukup berhasil membuat pembaca bisa masuk dalam cerita, serta membayangkan
kejadian demi kejadiannya.
Keempat tokoh diatas berada dalam sebuah garis yang saling
berpautan. Imajinasi yang rapi. Konflik dan klimaks yang mencengangkan.
GUNTUR – Seorang pemuda yang merantau menjadi penebang
hutan.
BUNGA –Anak seorang kepala desa. Bunga adalah kekasih
Guntur. Mereka telah merencanakan pernikahan.
CUWA – Gadis cantik nan lugu. Tinggal tak jauh dari barak
tempat Guntur dan para pekerja penebang hutan. Guntur dan Cuwa saling jatuh
cinta.
Ternyata pada bagian inilah pembaca baru bisa mengobati rasa
keingintahuan tentang prolog novel ini.
Tersembunyi secara apik. Perseteruan cinta segitiga, cemburu, kesetiaan,
kebencian, penghianatan dan juga darah. Pembaca akan dibuat terkejut dengan
ending novel ini (ck …geregetan pengin
getok si penulis, hihihi)
Masih ada beberapa tokoh pendukung yang ditampilkan, Seperti;
Mamak, Bang Hoti, Kakek Tua, Mak dan Bapak Cuwa Helmi, Selingkuhan Helmi, Pak
Hakim dan beberapa tokoh pendukung lain. Penulis menciptakan karakter tokohnya
juga bagus.
KELEMAHAN;
Novel ini tidak cocok dibaca oleh remaja labil, sebab jiwa
yang belum bisa memilah mana pesan baik dan buruk cenderung akan mencampur
adukkan nilai-nilai yang diselipkan dalam cerita. Seperti sebuah kalimat dalam
novelyang kurang lebih begini “Ia ibarat
mata pisau, jika kau gunakan untuk membelah sayur dan buah, maka ia berguna
untukmu. Tapi jika kau gunakan untuk melukai, maka darah dan keburukanlah yang
didapati.”
Jadi novel ini direcomendasikan untuk 18+ dan bagi yang suka
genre thriller atau horror.
KESIMPULAN;
Tak sepatutnya manusia itu memendam kebencian dan dendam
yang mendalam.Hanya akan merusak hati, menggerogoti ketenangan dan kebahagiaan
dalam hidup. Ada harga yang harus dibayarkan dengan mahal jika kebencian itu
dibiarkan bersarang, yaitu kehilangan sesuatu yang jelas-jelas sudah dimiliki,
atau malah menghancurkan mimpi dan harapan lain yang sebenarnya bisa
dipertahankan.
Danau sinabu atau danau kebencian atau danau berkah dalam
cerita adalah perumpamaan yang pas untuk kebencian. Siapa yang memuja pasti
tenggelam dikedalamannya.
Sebuah pelajaran berharga pula bisa ditemukan dalam cerita
ini, bahwasanya janji itu adalah hutang yang harus dibayarkan. Jika tidak, maka
hukuman/karma pasti menghampiri.
(Resensi_Animus_NurieAmaya_10_01_15)
Subscribe to:
Posts (Atom)